Kewajiban Terhadap Harta Peninggalan

Oleh : Ustadz Gamal Achyar Lc. M.Sh

Dalam berwasiat hendaknya ada saksi, Demikian pula, menunaikan wasiat hukumnya wajib bagi yang telah diamanahi atau dipercaya untuk menunaikan isi wasiat tersebut

DALAM hal penggunaan harta peninggalan, terdapat beberapa hak yang harus ditunaikan terlebih dahulu berkaitan dengan hak-hak pewaris. Jika hak-hak ini sudah ditunaikan, barulah sisa dari seluruh harta peninggalan pewaris tersebut dapat dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur’an, as-Sunnah, dan kesepakatan (ijma’) ulama. Hak-hak yang berkaitan dengan pewaris dan harta peninggalannya tersebut diantaranya adalah

  1. Biaya untuk keperluan pengurusan jenazah pewaris
  2. Utang pewaris
  3. Menunaikan wasiat pewaris
  1. Biaya untuk Keperluan Pengurusan Jenazah Pewaris

Semua keperluan dan pembiayaan pengurusan jenazah pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya tersebut dengan penggunaan yang sewajarnya, yakni tidak berlebihan dan tidak pula dikurang-kurangi. Keperluan pengurusan jenazah tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya adalah: biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir. Segala keperluan tersebut bisa berbeda-beda biayanya, tergantung keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.

Apabila pewaris yang tidak meninggalkan harta warisan, maka hendaknya biaya pemakamannya ditanggung oleh keluarga yang menjadi tanggungannya sewaktu masih hidup, yaitu anak-anak dan kerabat lainnya yang mampu. Jika pewaris tidak mempunyai kerabat yang dapat menanggung biaya penguburannya, maka biaya itu dapat diambildari kas gampong atau bahkan baitulmal (kas negara). Biasanya dalam suatu gampong terdapat satu kebijakan dari pengurus gampong dan para warganya, yaitu menyediakan biaya pengurusan jenazah dari awal sampai ke tempat peristirahatannya yang terakhir (tidak termasuk biaya untuk pembelian tanah makam). Kas tersebut merupakan dana yang didapat dari iuran bulanan warga gampong itu sendiri.

  1. Utang Pewaris

Utang yang masih ditanggung pewaris harus ditunaikan atau dibayarkan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utangnya ditunaikan terlebih dahulu.

Berkaitan dengan utang ini, terdapat hadits Rasulullah saw disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

عن النبي-صلى الله عليه وسلم-: "نفس المؤمن معلقة بدينه حتى يقضى عنه"

 “Roh (jiwa) seorang mu’min masih terkatung-katung (sesudah wafatnya) sampai utangnya didunia dilunasi. (HR. Ahmad)

Di dalam hadits yang lain disebutkan bahwasanya Rasulullah bersabda:

أن رسول الله  صلى الله عليه وسلم-: قال: «يغفر للشهيد كل ذنب إلا الدين»

Akan diampuni semua dosa orang yang mati syahid, kecuali utangnya (yang belum dibayar).

Mungkin diantara kita ada yang bertanya-tanya, bagaimana perihal seseorang yang wafat, yang masih mempunyai tanggungan utang yang belum dilunasi, namun ia tidak meninggalkan harta warisan yang cukup untuk menutup utangnya tersebut? Maka jika terjadi kondisi seperti ini, yaitu jumlah utangnya tersebut lebih besar dari harta warisan yang ada, maka ahli warisnya harus berusaha melunasinya dari harta warisan yang ada ditambah dengan harta mereka sendiri sebagai bentuk tanggung jawab ahli waris terhadap kerabatnya yang telah wafat tersebut.

Perlu diperhatikan, bahwa utang yang patut dibantu adalah utang seseorang yang digunakan untuk amal kebaikan, seperti untuk memberi makan anak istrinya, membeli pakaian untuk menutup auratnya, dan lain sebagainya, karena memang dia berada dalam kondisi yang kekurangan. Adapun utang seseorang yang digunakan untuk perbuatan dosa, seperti seseorang yang berutang untuk berjudi, membeli minuman keras dan perbuatan dosa lainnya, maka tidak perlu dibantu, dan bahkan tidak boleh meminjamkan harta untuk perbuatan dosa dalam bentuk dan kondisi apapun.

  1. Menunaikan Wasiat Pewaris

Wasiat adalah permintaan pewaris terhadap ahli warisnya sebelum wafatnya. Wasiat ini sebenarnya tidak hanya berupa pesan yang sifatnya untuk membagikan sejumlah tertentu dari hartanya, namun ia bisa juga berbentuk pesan-pesan kebaikan yang diinginkan pewaris untuk ditunaikan oleh ahli warisnya.

Seorang muslim yang telah mengetahui ilmu faraidh tentunya menginginkan ketika ia telah wafat, harta peninggalannya tersebut dapat dibagikan kepada ahli warisnya dengan benar sesuai dengan syariat (ketentuan) yang Allah turunkan. Juga terkadang mereka mempunyai keinginan tertentu sebelum wafatnya, misalnya ia ingin sepersekian hartanya tersebut disedekahkan kepada fakir miskin, diinfakkan di jalan Allah, disumbangkan untuk pembangunan masjid setempat, dibagikan kepada seseorang yang ia anggap telah berjasa kepadanya, dan lain sebagainya. Maka seluruh keinginannya tersebut dapat dituliskan di dalam suatu surat wasiat.

Penunaian wasiat pewaris ditunaikan setelah pewaris wafat. Jika ia mewasiatkan harta, maka yang paling didahulukan untuk diselesaikan adalah biaya keperluan pengurusan jenazahnya, kemudian pembayaran utangnya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Turmidzi, disebutkan bahwa sesungguhnya Rasulullah saw memutuskan untuk mendahulukan penyelesaian utang sebelum melaksanakan wasiat.

Wajib hukumnya menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini dilakukan jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Para ulama telah sepakat bahwa pemberian wasiat kepada ahli waris hukumnya adalah haram, baik wasiat itu sedikit maupun banyak, karena Allah swt. telah menetapkan bagian ahli waris di dalam Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

Dari Abu Umamah ra., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Sungguh Allah telah memberikan hak (waris) kepada setiap yang berhak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat (tambahan harta) bagi orang yang (telah) mendapatkan warisan’”. (HR. Abu Daud dan Ibn Majah dan al-Turmudzi).

Maka sesungguhnya ayat ini turun sebelum ayat-ayat waris. Maka setelah turun ayat-ayat waris, ditentukanlah batas-batas tertentu bagi para ahli waris sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, setelah turun ayat-ayat waris, seseorang tidak boleh lagi berwasiat untuk membagikan sejumlah harta tertentu di luar haknya untuk para ahli warisnya. Adapun wasiat untuk selain ahli waris maka diperbolehkan. Ini adalah pendapat sebagian sahabat Nabi dan tabi’in.

Dalam berwasiat hendaknya ada saksi, Demikian pula, menunaikan wasiat hukumnya wajib bagi yang telah diamanahi atau dipercaya untuk menunaikan isi wasiat tersebut. Maka terhadap orang-orang yang tidak jujur atau merubah isi wasiat tersebut, maka sesungguhnya ia mendapat murka dari Allah. Firman Allah di dalam Al-Qur’an:


Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah – 181)

Namun jika ia merasa pewaris telah berlebih-lebihan dalam berwasiat, berat sebelah, pilih kasih dan tidak adil, misalnya berwasiat agar memberikan harta warisan seluruhnya kepada seseorang, atau mungkin isi wasiat tersebut menyuruh berbuat dosa dan pelanggaran, maka ahli waris boleh untuk tidak melaksanakan wasiatnya, karena memang Allah melarang perbuatan dosa dan karena batas maksimal pemberian harta warisan pada wasiat itu adalah sepertiga dari harta milik pewaris, itupun jika tidak ada protes dari salah satu ataupun seluruh ahli waris yang ada. Firman Allah:

 “(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Baqarah – 182).


Wasiat akan menjadi milik orang yang diwasiatkan dengan syarat jika orang yang berwasiat itu telah wafat, dan itupun perhitungannya setelah dikurangi dengan biaya pemakaman dan pembayaran utang-utangnya, karena memang utang harus lebih didahulukan pembayarannya daripada wasiat. Jadi jika seseorang berwasiat, “Berikanlah seperdelapan hartaku untuk pembangunan masjid itu!”. Maka seperdelapan itu dihitung dari hartanya setelah dikurangi dengan biaya pemakaman dan pembayaran utang-utangnya, bukan dari pokok harta warisnya secara utuh. Setelah itu, baru sisanya diberikan kepada ahli warisnya sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Contoh penentuan At-Tirkah:

Seseorang meninggal dunia dan harta warisan yang ditinggalkan sebesar Rp. 20.000.000,-. Berapakah harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya setelah dilaksanakan kewajiban terhadap harta peninggalan si mayit?

Harta warisan = Harta peninggalan – kewajiban terhadap harta simayit

Kewajiban terhadap harta peninggalan
Harta
Pengurusan mayat
Rp 2.000.000,-
Rp 20.000.000 – Rp 2.000.000 =
Rp 18.000.000
Pembayaran utang
Rp. 3.000.000,-
Rp 18.000.000- Rp 3.000.000 =
Rp 15.000.000
Melaksanakan wasiat
Rp. 5.000.000,-
Rp 15.000.000 – Rp 5.000.000 =
Rp 10.000.000
Harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli waris yang berhak
Rp. 10.000.000,-

Komentar

Terpopuler