Basmalah: Antara Feminimitas dan Maskulinitas Tuhan
Oleh : Dr. Mizaj Iskandar, Lc., LL.M merupakan dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN ar-Raniry dan Wakil Ketua Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh.
Pada tulisan sebelumnya telah dibicarakan tentang basmalah yang menjadi kedapan
asmaul husna (beautiful names of Allah). Tulisan kali ini akan melihat lebih jauh basmalah
melalui perspektik tasawuf (mysticism of Islam). Pendekat tasawuf ini normal saja dalam ‘ulūm
al-Qur’ān (ilmu metodologi al-Qur’an). Karena salah satu pendekatan dalam tafsir al-Qur’an
adalah tafsīr isyārī (tafsir intuitif). Jadi memahami al-Qur’an dengan pendekatan tasawuf aman
dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat Islam.
Dalam perspektif tasawuf, asmaul husna diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu:
ism jalāl (nama yang menunjukkan sifat maskulin) dan ism jamāl (nama yang menunjukkan sifat
feminim). Menurut ulama tasawuf, dalam dua kategori ini lah Allah memperkenalkan dirinya
kepada manusia.
Dianatara beberapa ism jalāl seperti, al-Allāh (Tuhan), al-Jabbār (Sang Diktator), al-
Muntaqim (Sang Pedendam), al-Dayyān (Sang Pembalas) dan lain sebagainya. Adapun contoh
dari ism jamāl diantaranya al-Raḥmān (Maha Pengasih), al-Raḥīm (Maha Penyayang), al-
Ghaffār (Maha Pengampun), al-Razāq (Maha Pemberi Rezeki) dan seterusnya.
Di dalam basmalah, tuhan hanya sekali menyebut sifat maskulin-Nya (al-Allāh) dan dua
kali menyebut sifat feminim-Nya (al-raḥmān dan al-raḥīm). Dari segi kuantitas penyebutan
dapat dipahami bahwa sifat feminim lebih mendominasi dalam diri Allah dibandingkan dengan
sifat maskulin-Nya.
Kualitas feminim yang lebih dominan dalam diri Allah ini diakui oleh Nabi. Dalam
sebuah hadits ia bersabda “limā khalaqa al-allāh al-khalq kataba fī kitāb fuhuwa ‘indahu fawqa
al-‘arsy, inna raḥmatī sabaqat ghaḍabī (ketika Allah menciptakan semesta, Ia telah menuliskan
suatu ketetapan yang tak akan dilanggar bahwa sesungguhnya rahmat-Nya mengalahkan
kemarahan-Nya). Hal serupa juga dijelaskan Allah dalam Q.S, 7:156. Keadaan ini kemudian
yang menjadi karakter dasar Allah dalam berinteraksi dengan manusia. Semua jenis hubungan
Allah dengan manusia mengambil pola justice tempered with mercy (keadilan yang berwatakkan
kasih sayang).
Allah memerintahkan kita untuk berusaha mencari rezeki pada satu pihak (Q.S, 62:10),
tetapi dipihak yang lain Ia menjamin rezeki semua hambaya (Q.S, 11/6). Di satu sisi dia
menimpakan ujian kepada hamba-Nya (wa labnuwannakum), tapi di saat yang lain Ia
menjanjikan kelapangan di balik musibah tersebut (wa basyiri al-ṣābirīn). Di suatu saat Ia yang
menciptakan semua perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia, sama halnya dengan Ia pula
yang menciptakan perbuatan baik yang diamalkan manusia (wa al-allāh khalaqakum wa mā
ta‘malūn). Tapi pada saat lain, ia menyediakan ruang pengampunan bagi yang memilih berbuat
buruk (wa sāri‘ū ilā maghfirah) dan melimpahkan pahala hingga berkali-kali lipat bagi yang
beramal shalih (aḍ‘āfan muḍā‘fan).
Jika manusia mengenal Allah dalam sosok ini maka sudah sepatutnya dalam kehidupan
dunia ini tidak ada yang mesti dikhawatirkan dan disedihkan. Karena bagaimana pun keadaan
kita ia tetap akan menerima kita bagaimana adanya, sebagaimana seorang ibu yang tetap akan
membuai anaknya meskipun anaknya tersebut durhaka seperti kisah Maling Kundang dalam
mitologi Melayu.
Dalam pemahaman ini lah Allah berfirman dalam Q.S, alā inna awliyā’ al-Allāh lā
khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanun (sesungguhnya orang yang mengenal tuhan-Nya tidak
pernah merasa takut dan juga bersedih diri). Pemahaman ini kembali diperkuat-Nya dalam Q.S,
41:30 “inna al-dzī qalū rabbunā al-allāh tsuma istaqāmū tatanazzalu ‘alaim al-malā’ikah allā
takhāfu wa lā taḥzanū (sesungguhnya orang yang mengenal tuhan-Nya dan kemudian konsisten
dengan perkenalan itu – tidak bersikap pura-pura tidak kenal – maka Allah akan menunurunkan
mailakat kepada mereka, untuk melindungi mereka dari rasa takut dan sedih).
Komentar
Posting Komentar