Mauidhatut Tarikh: Mengembalikan Nilai-Nilai Ke-Acehan Aceh Dengan Seruan Persatuan dan Kesatuan
Oleh:
Dr. Tgk. H. Ajidar Matsyah, Lc., MA
Hari ini kita memasuki tahun baru hijriah yang ke 1441 H. Dengan momentum tahun baru hijriah ini terdapat dua hal yang dapat kita dilakukan; pertama mengevaluasi diri selama setahun yang telah berlalu, dan kedua mempersiapkan diri dengan persiapan-persiapan baru untuk mengisi tahun baru. Dalam konteks ini mari kita kaitkan dengan sejarah perjalanan peradaban kita di masa lalu, hari ini dan kemudian masa depan kita. Sejarah adalah peristiwa masa lalu atau kejadian masa lampau, yang dalam bahasa Arab disebut al-tarikh, yang diartikan dengan penanggalan atau sejarah, dan biasanya peristiwa sejarah itu akan berulang kembali. Tak seorangpun di antara kita yang luput dari peristiwa sejarah. Seseorang yang lupa akan sejarahnya berarti ia tidak tau tanggal kelahirannya. Barangsiapa yang tidak ada masa lalunya, maka tidak ada masa depannya.
Seorang muslim sudah sepantasnya mengetahui sejarah bangsanya sendiri. Imam Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhahu menyebutkan, yang artinya "Bacalah sejarah karena sejarah adalah sebaik-baik saksi". Islam sangat menghargai nilai-nilai sejarah, sehingga al-Quran menceritakan kembali sejarah perjalanan Firuan di dalamnya, seperti dijelaskan pada ayat berikut, yang artinya;
"Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami". Q.S. Yunus: 92.
Kenapa kisah Firaun diceritakan kembali dalam al-Quran padahal kisah tersebut terjadi sebelum diturunnya al-Quran, karena untuk menghargai nilai-nilai sejarah. Kalau al-Quran saja menghargai nilai-nilai sejarah, kenapa kita tidak. Oleh itu, mengetahui sejarah Aceh merupakan bagian dari menghargai nilai-nilai sejarah Islam, karena nilai sejarah mengandung mauidhah yang sangat bernilai. Lalu bagaimana sejarah kita di masa lalu, pada hari ini dan ke depan?.
Aceh di masa lalu
Mauidhah penting yang dapat diambil dari masa lalu adalah bahwa Aceh sebuah peradaban Islam dan sebagai pusat ilmu pengetahuan di Asia Tenggara. Adapun Aceh menjadi sebuah peradaban Islam dihitung sejak dideklarasikannya Kerajaan Islam Pereulak pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram tahun 225 H/840 M. Dua ratus tahun setelah di Peurelak, kemudian muncul Kerajaan Islam Pasai di Aceh Utara, yang didirikan pada tahun 433 H/1042 M. Kemudian muncul Kerajaan Islam Taimiang di Aceh Timur (sekarang Aceh Taimiang), pada tahun 580 H/1184 M. Selanjutnya Kerjaan Islam Pidie di Aceh PIdie, pada abad 8 H/14 M. Kemudian Kerajaan Islam Lingga di Aceh Tengah, dan Kerajaan Islam Isak di Aceh Tengah, keduanya diperkirakan didirikan pada tahun 376 H/986 M. Selanjutnya Kerajaan Islam Daya di Lamno Aceh Jaya, yang berdiri sekitar abad ke XV. Kemudian Kerajaan Aceh Darussaalam yang dideklarasikan pada 12 Zulqaidah tahun 916 H/1511 M.
Jika dihitung dari sejak berdirinya sebagai pusat peradaban pertama di Pereulak pada tahun 225 H, sementara hari ini sudah berada pada tahun 1441 H, maka usia peradaban Aceh sudah berusia sekitar 1216 tahun. Para sejarawan lokal dan luar negeri sepakat Aceh pernah menjadi super power di Asia Tengara dalam berbagai bidang, menguasai hampir seluruh semanjung Malaya, sebagian Pulau Sumatra. Ini gambaran sekilas Aceh di masa lalu, lalu bagaimana Aceh hari ini?.
Aceh hari ini
Sebagian orang menilai bahwa kondisi Aceh hari ini ibarat sebatang tebu yang hilang manisnya. Salah satu yang paling parah hari ini adalah hilangnya identitas ke-Acehan masyarakat Aceh. Beberapa faktor dapat dikesan menjadi penyebabnya, di antara lain; menurunnya nilai-nilai agama, dan pudarnya patriotisme ke-Acehan di kalangan masyarakat Aceh. Efeknya adalah masyarakat lebih senang dengan apa yang ada pada orang lain, berbanding dengan apa yang ada pada sendiri, lebih suka meng-oranglainkan orang sendiri berbanding meng-oranglainkan orang lain. Hal ini dapat dilihat pada beberapa hal di bawah ini;
Bidang ekonomi misalnya, masyarakat lebih suka dengan produk orang berbanding produk sendiri. Contoh kecil; di sebuah terminal Bus di kota Medan, di situ tempat mangkal semua Bus jurusan Banda Aceh. Seperti biasanya awak Bus memarkirkan Bus di terminal sambil menunggu penumpang menuju Aceh. Dalam pada itu, penjaja oleh-oleh menjaja oleh-olehnya dengan naik ke dalam Bus menawarkan jajanannya kepada penumpang. Salah seorang penjaja asal Aceh menawarkan jajanannya; "oleh-oleh Bu, puwo u Aceh". Ternyata jangankan dibeli dilihatpun tidak, padahal semua penumpangnya Aceh. Tetapi 15 menit kemudian naiklah seorang penjaja asal kota Medan, ia menawarkan jajanannya persis seperti tawaran penjaja asal Aceh, ia mengatakan; "oleh-oleh Bu, bawa pulang ke Aceh". Ternyata langsung disapa oleh ibu-ibu dalam Bus; "berapa satu"?. Kenapa begitu baik responnya?. Karena penjajanya bukan asal Aceh. Begitu pula dengan di Aceh, masyarakat lebih senang dengan produk dan branding luar berbanding produk dan branding sendiri.
Bidang pendidikan-dalam dunia akademis misalnya-, kita lebih bangga dengan para intelektual import dari luar Aceh. Contoh dalam seminar ilmiah, kalau pemateri dari luar Aceh pasti kita komen "mereka sangat ilmiah". Padahal cukup banyak akademisi, intelektual kita yang kadang-kadang jauh lebih berkualitas berbanding yang import, cuma kadang kita kurang menghargainya.
Bidang sosial keagamaan, terkadang kita membeda-bedakan antara ulama kita
sendiri dengan ulama luar, kita lebih memuliakan ulama luar. Sehingga masyarakat Aceh hari ini "dipeucicap le ureng lua". Yang ada pada kita sendiri kita tinggalkan. Dalam kontek keagamaan juga tidak luput dari efek serupa. Masyarakat kita lebih bangga dengan ulama dari luar Aceh berbanding ulama sendiri, sehingga dalam berbagai hal seakan kita dipeucicap oleh orang luar. Kenapa demikian, karena keAcehan kita sudah mulai memudar.
Bidang politik, kita sering berhadapan dengan moral politik yang bermasalah,
hampir tiap hari kita mendengar atau membaca kekisruhan antara ekskutif dengan legislatif, antar partai politik dengan partai politik termasuk politikusnya yang kadang-kadang hanya mengutamakan kelompoknya berbanding kemaslahatan masyarakat banyak. Dalam dunia perpolitikan Aceh hari ini, saban hari kita saksikan fenomena perpolitikan yang tidak sehat antar politikus, antar partai baik di legislatif dan ekskutif. "Ladom tarek u cet, ladom tarek u lhok". Sehingga kepentingan Aceh dan kemaslahatan rakyat terabaikan, aset-aset Aceh kadang semakin hari semakin berkurang, akibat kapling-kapling ilegal.
Bidang budaya dan kearifan lokal, kita melihat generasi kita hari ini yang lebih
bangga kalau dapat mengikuti budaya luar, mereka merasa kolot kalau mengikuti budaya sendiri. Tak ubahnya seperti generasi "boh itek masen". Generasi Aceh zaman dulu tahan uji, generasinya bagaikan filosofi "ikan di laut". Meskipun hidup di tengah air asin pahit tapi dia tidak akan asin.
Singkatnya Aceh hari ini, rasa Aceh dan ke-Acehannya mulai pudar, banyak di antara kita yang meninggalakan apa yang menjadi identitasnya. Padahal sikap meninggalkan apa yang ada pada diri sendiri dan bangga dengan produk orang masuk dalam kategori orang paling bodoh. Dalam ungkapan Arab; "Ajhalunnas man taraka ma indahu li dhanni ma indannas" (orang paling bodoh ialah orang yang meninggalkan apa yang ada pada dirinya dan mengambil apa yang ada pada orang lain). Inilah wajah Aceh hari ini, lalu apa yang seharusnya dilakukan untuk ke Aceh ke depannnya?.
Aceh di masa depan
Untuk menata masa depan Aceh dan ke-Acehannya, dan mengembalikan nilai-nilai ke-Acehan kembali seperti di masa jayanya, beberapa hal dapat dilakukan, antara lain;
Memperkuat kembali pemahaman tentang agam dan keagamaan, karena agama memiliki power untuk menjaga peradaban umat.
Mempelajari kembali sejarahnya sendiri karena dengan sejarah suatu masyarakat akan mengenal siapa dirinya, dan identitasnya.
Menghargai bangsanya sendiri, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mengahrgai bangsanya sendiri
Menghindari konflik sesama sendiri, baik konflik politik maupun konflik sosial, karena konflik akan melemah bangsa itu sendiri, Aceh akan lemah dalam segala hal kalau sesama sendiri masih berkonflik.
Memperkuat persatuan dan kesatuan sesama Aceh, dengan slogan ACEH SATU. Jika kita sesama Aceh hilang tali persatuan maka kita diinjak-injak pihak lain sehingga menjatuhkan marwah dan harga diri kita.
Dengan mauidhah sejarah ini, mari kita bersatu, mari memperkuat sesama sendiri dengan penuh kesabaran menatap depan Aceh yang lebih baik. Khutbah ini ditutup dengan firman Allah SWT, yang bermaksud;
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (Ali Imran:200).
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Komentar
Posting Komentar