Al-Fatihah: Preambulnya al-Qur’an



oleh : Mizaj Iskandar[1]



Surat pertama di dalam al-Qur’an dinamakan dengan al-Fātiah (pembuka). Ada sedikit kejanggalan yang mengusik pikiran saya ketika surat tujuh ayat ini dinamakan demikian. Pertama, secara tertib turun (nuzūl) surat ini merupakan surat ke tujuhbelas turun kepada Rasulullah. Kedua, dalam kosa Arab, terdapat padanan kata cukup banyak untuk menyebut pembuka selain al-Fātiah, seperti muqaddimah, tamḥīd dan tawi‘ah. Tetapi kemudian kenapa nama al-Fatihah yang disematkan pada surat ini?
Benar bahwa surat ini dari segi tertib turunya berada pada urutan ke tujuhbelas dari surat-surat yang diterima oleh Nabi. Namun menurut Fakh al-Dīn al-Rāzī (w. 1209 M) dalam kitab tafsirnya Mafāti al-Ghaib al-Fātiah merupakan surat pertama yang turun secara lengkap kepada Rasulullah.
Allah dalam menurunkan suatu surat biasanya tidak melepaskannya dari peristiwa yang terjadi di bumi. Dengan adanya peristiwa tersebut terjadilah dialog komunikatif antara langit dan bumi. Sehingga suatu ayat atau surat yang turun selalu memiliki latar belakang dan konteks tertentu yang meyebabkan ia turun. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan konsep asbāb al-nuzūl dalam kajian metodologi al-Qur’an (‘ulūm al-qur’ān). Setelah semua ayat turun, Rasulullah kembali menyusun ulang tertib urut al-Qur’an sebagaimana tertib urut al-Qur’an yang terdapat di law al-mafūẓ. Jadi peletakkan al-Fātiah di awal al-Qur’an sebenarnya mengikuti model tertib urut al-Qur’an yang ada di law al-mafūẓ atas perintah Rasulullah yang mendapatkan bimbingan langsung dari Allah. Itulah kenapa sebabnya tertib urut surat yang ada pada al-Qur’an bersifat ta‘abbudī (tak dapat diubah-ubah) dan tidak mengikuti tertib turun (nuzūl).  Tertib urut ini kemudian berkonsekuensi pada bacaan imam dalam shalat berjamaah. Makruh hukumnya seorang imam membolak-balikkan urutan bacaan ayat pilihan setelah membaca al-Fātiah. Seperti membaca surat al-Nās pada rakaat pertama dan al-Falaq pada rakaat kedua.
Juga tidak dibantah bahwa dalam perbendaharaan kosakata Arab kata pembuka dapat diterjemahkan dengan berbagai variasi kata sebagaimana terlihat di atas. Tetapi Allah lebih memilih menggunakan kata al-Fātiah dibandingkan kata-kata yang lain. Dalam tata bahasa Arab, kata al-Fātiah terambil dari kata فتح yang kemudian berderivasi menjadi فاتحة yang dapat bermakna membuka sesuatu (to open) atau pembuka (the opener).
Dalam dua makna etimologis inilah al-Fātiah menjalankan fungsi teologisnya. Idealnya setiap kegiatan manusia itu dimulai dengan membaca al-Qur’an secara keseluruhan. Tetapi bukankah membaca keseluruhan al-Qur’an sebelum memulai aktivitas itu merepotkan. Maka kemudian dipersingkatkan menjadi membaca al-Fātiah. Tetapi tetap saja bagi segelintir orang membaca al-Fātiah masih dianggap tidak efisien. Maka disinilah muncul anjuran untuk membaca basmalah saja sebelum memulai suatu aktivitas. Dengan kata lain, intisari al-Qur’an terletak pada pembukanya (al-Fātiah) sebagaimana inti dari sebuah buku terletak pada mukadimahnya. Kemudian intisari al-Fātiah terletak pada basmalah. Dan intisari basmalah terletak pada awal huruf “ba” pada pembukaan basmalah. Dan huruf ba’ itu berawal dari sebuah titik acu yang kemudian ditarik sedemikian rupa sehingga membentuk huruf ba’.
Inilah kemudian memunculkan dugaan sementara ahli yang menyatakan alam ini diwujudkan dari sebelumnya tiada (creatio ex nihilo/al-ījād min al-‘adam). Dan setelah alam itu berwujud, kemudian diperluas sedemikian rupa sehingga menjadi alam semesta (expanding of universe). Dalam al-Qur’an peristiwa penciptaan alam yang kemudian diperluas sehinggga menjadi alam semesta diceritakan oleh Allah dalam QS, 51:47. Kejadian alam semesta tersebut sama dengan kejadiaan pengwahyuan al-Qur’an yang dimulai dengan sebuah titik yang terletak di awal penulisan huruf ba’. Dan kemudian menjalar pada 19 huruf yang menyusun kata basmalah, kemudian merentang menjadi al-Fātiḥah sehingga akhirnya meluas menjadi 114 surat dalam al-Qur’an. Itulah mengapa sebagian ahli tafsir menamakan alam semesta itu sebagai ayāt al-kawniyyah sedangkan al-Qur’an sendiri sebagai ayāt al-qawliyyah.
Dari sinilah muncul pemahaman membaca al-Fātiḥah sama seperti telah membaca keseluruhan al-Qur’an dan membaca basmalah seperti setelah membaca keseluruhan al-Fātiḥah. Maka tidak berlebihan kalau dalam sebuah hadits Nabi berkata “kullu amrin dzi bālin la yubda’ fīhi bibismillāh fuhua abtar” (setiap perbuatan baik yang tidak dimulai dengan membaca al-Fātiḥah maka sia-sialah perbuatan tersebut).
Di lain pihak al-Fātiḥah juga dapat dimaknakan sebagai pembuka (the opener). Seperti penyebutan orang Arab untuk Nabi Muhammad sebagai al-fātiḥ setelah peristiwa fatḥ makkah (pembebasan Mekkah) pada tahun 8 H/630 M dan Sultan Muhammad Salim II sebagai Sultan Muhammad al-Fātiḥ setelah peristiwa penaklukan konstantinopel. Seandainya saja Nabi Muhammad dan Sultan Muhammad Salim II itu perempuan pasti mereka akan dinamakan dengan al-fātiḥah (bentuk feminin/mu‘annats dari kata al-fātiḥ).
Tidak mengherankan kemudian jika dari pemahan etimologis ini menjadikan al-Fātiah sebagai salah satu surat dalam al-Qu’ran yang paling sering dibaca oleh kaum muslim baik dalam shalat maupun diluar shalat. Hal ini sesuai dengan karakter al-Fātiah itu sendiri sebagai tujuh ayat yang sering diulang-ulang pembacaannya (sab‘an minal matsānī). Oleh Karena itu, al-Fātiah menjadi salah satu surat dalam al-Qur’an yang multi fungsi. Selain sebagai intisari dari al-Qur’an, membacanya pun pada setiap shalat wajib hukumnya (lā halāta illā bifātiah al-kitāb), maka tidak mengherankan jika membacanya pada setiap aktivitas seorang muslim mengandung keberkahan yang amat tinggi.



[1]Dr. Mizaj Iskandar, Lc., LL.M merupakan dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry dan Wakil Ketua Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh.

Komentar

Terpopuler