(TAFSIR) Basmalah: Nama, Sifat dan Zat Allah
Oleh : Mizaj Iskandar1
Jika pada pertemuan yang lalu telah dikaji
basmalah dalam perspektif tasawuf. Maka kali ini basmalah akan dikaji melalui
pendekatan ilmu tauhid (aqidah). Dalam kajian tauhid Allah biasanya dikenali
melalui tiga katagori. Nama (al-asmā’), sifat dan zat tuhan. Dari ketiga
subtansi ini lah manusia mengenali pekerjaan tuhannya (af‘āl al-Allāh) dalam
mengurus alam semesta.
Tidak mungkin tuhan yang memperkenalkan
dirinya dengan nama al-raḥmān, sifat-Nya qudrah (mampu), dan zat-Nya yang esa
kemudian berkonsultasi dengan wujud yang lain terlebih dahulu sebelum mengambil
kebijakan menyangkut kejadian alam semesta. Dalam contonya ini terlihat jelas
bagaimana kesatuan nama, sifat dan zat mempengaruhi af‘āl (pekerjaan) Allah.
Sehingga keempatnya dianggap sebagai satu kesatuan utuh (manunggaling kawula
gusti) yang tak terpisahkan. Inilah esensi tauhid yang dikandung dalam Q.S,
112: 1-4.
Dalam kajian tauhid Ahl Sunnah wa al-Jamā‘ah,
terdapat dua model cara mengenali Allah. Pertama, kajian tauhid kaum salaf yang
membagi alur perkenalan Allah ke dalam tiga tingkatan tauhid. (1) tauhid
rubūbiyyah (mengesankan Allah dengan mengakui Allah sebagai pencipta alam
semesta. (2) tauhid ulūhiyyah (mengesakan Allah dengan cara menghambakan diri
kepada Allah melalui ibadah-ibadah yang telah Ia syariatkan) dan (3) tauhid
asmā’ wa ṣifah (mengesakan Allah dengan menyakini Allah memiliki nama dan
sifat-sifat).
Orang yang mengingkari jenis tauhid pertama disebut
atheis, pengingkaran terhadap jenis tauhid yang kedua disebut kafir, sedangkan
mengingkari jenis yang terakhir disebut zindiq atau mulḥīd.
Kedua, kajian tauhid kaum Asy‘ariyah dan
Māturidiyyah yang menjelaskan alur perkenalan dengan Allah melalui perkenalan
dengan zat, sifat, asmā‘ dan af‘al Allah. Dalam kerangka pikir ini kemudian
kelompok Asy‘ariyah dan Māturidiyyah mengatakan bawah zat Allah tidak dapat dijabarkan
sesuai dengan sabda Nabi yang melarang kita untuk memikirkan zat Allah.
Sedangkan sifat Allah dijabarkan ke dalam sifat dua puluh dengan tiga
pembagian, yaitu: wajib, mustahil dan ja‘iz. Adapun nama-nama Allah terhimpun
ke dalam 99 nama yang dikenal dengan sebutan asmā‘ ḥusnā. Sedangkan af‘āl
(pekerjaan) Allah merupakan manifestasi dari zat, sifat dan nama-nama tersebut.
Basmalah
mengandung kesemua unsur tauhid yang telah dijelaskan di atas. Ketika kita
mengucapkan huruf ba’ pada awal basmalah, maka dengan sendirinya kita telah
membuat pengakuan mengenai keberwujudan Allah. Pada saat kita menyebut kata ism
pada basmalah secara otomatis kita telah mengakui Allah memiliki nama-nama yang
indah. Pengakuan itu bahkan kita sempurnakan dengan menyebut al-raḥmān dan
al-raḥīm. Sedangkan pada saat kita menyebut nama Allāh dalam basmalah disaat
itulah kita memasukkan unsur-unsur keilahiyahan ke dalam diri kita.
Jadi sebenarnya pada saat kita membaca basmalah
tanpa kita sadari kita memasukan seluruh partikel tuhan ke dalam jiwa dan raga
kita. Dengan menyebut basmalah muncul harapan pekerjaan yang akan kita lakukan
sempurna sebagaimana sempurnanya zat Allah. Juga dengan membaca basmalah timbul
harapan pekerjaan kita menjadi baik dan indah sebagaimana baik dan indahnya
sifat dan nama-nama Allah (asmā’ al-ḥusnā). Tidak berlibahan jika Nabi meminta
kita untuk memulai suatu kegiatan dengan membaca basmalah (kullu amrin dzī
bālin lā yubda’ fihi bibismillāhi fahuwa abtar). (*)
*[1]Dr. Mizaj Iskandar, Lc., LL.M merupakan dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Ar-Raniry dan Wakil Ketua Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh
Komentar
Posting Komentar