BEREKONOMI TANPA RIBA
Oleh Dr. Tgk. H. Ajidar Matsyah, Lc., MA
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali Imran: 130).
Pada ayat di atas mengandung dua bentuk kata kerja, yang pertama bentuk kata larangan yaitu "janganlah kamu memakan riba", dan bentuk kata perintah yaitu "bertakwalah kamu kepada Allah".
Berdasarkan teori ilmu Usul Fiqh, bahwa setiap bentuk kata larangan membawa maksud haram, dan setiap bentuk kata perintah membawa maksud wajib. Maka bentuk kata larangan tersebut menunjukkan praktik riba haram selama-lamanya, dan bentuk kata perintah menunjukkan bahwa bertakwa adalah wajib hukumnya untuk menghindari riba selama-lamanya.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang dimaksud dengan riba adalah membayar lebih atau bayaran bergada dalam praktik transaksi keuangan, baik transaksi jual beli, simpan pinjam, maupun akad sewa menyewa dan sejenisnya. Misalnya seseorang meminjam dana seratus juta, lalu membayarnya seratus lima puluh juta. Kelebihan atau gandaan tersebut dihitung sebagai riba, meskipun di satu sisi ia dihitung sebagai keuntungan bagi pemilik modal.
Unsur-Unsur Riba
Namun, konteks riba tidak hanya berlaku pada praktik transaksi bayar lebih atau bayar berganda, tetapi setiap transaksi keuangan yang dalam praktiknya mengandung unsur-unsur ribawi, maka traksaksi tersebut dapat dikategorikan sebagai praktik riba yang diharamkan. Para ulama menyebutkan, paling sedikit terdapat lima unsur ribawi yang diharamkan, sebagai berikut:
Al-Gharar, yang dimaksud dengan al-gharar adalah curang atau kecurangan. Setiap transaksi keuangan, apakah jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa dan sebagainya, jika mengandung unsur kecurangan, maka transaksi dimaksud dikategorikan sebagai praktik riba. Misalnya seseorang membeli sekilo gula di supermarket dengan harga dua puluh ribu rupiah. Pada label gula tertulis satu kilo, tetapi ternyata gula tersebut tidak sampai satu kilo, maka si penjual dalam praktiknya telah melakukan kecurangan besar.
Al-Maisir, yang dimaksud dengan al-maisir adalah perjudian. Pengertian perjudian adalah praktik taruhan yang memperoleh hasil dengan mudah, atau transaksi yang tidak tetap besarannya atau jumlahnya antara barang dan harga. Setiap transaski yang mengandung unsur perjudian, maka praktik itu adalah riba yang diharamkan. Misalnya dalam transaksi pinjaman, kalau besaran pinjaman seratus juta dengan masa pinjaman dua tahun, bayaran bulanannya sekian, kalau masa pinjaman lebih singkat atau lebih lama dari dua tahun, maka besaran bayaran bulanan akan berubah. Dengan demikian, transaksi tersebut mengandung unsur riba yang diharamkan.
Al-Ghisy, adalah penipuan. Setiap transaksi yang mengandung unsur al-ghisy, dapat dikategorikan sebagai praktik riba. Misalnya pemilik warung makan yang menjual kuah beulangeng, di mana sudah maklum adanya bahwa kuah beulangeng adalah masakan kari kambing, lalu masakan kuah beulangeng dicampur dengan daging lembu. Praktik mencampurkan daging kambing dengan daging lembu pada masakan kuah beulangeng dapat dikategorikan sebagai praktik riba yang diharamkan, karena si penjual telah melakukan penipuan.
Al-Dhulm, adalah tindakan kedhaliman (mengekploitasi hak orang lain). Setiap transaksi yang mengandung unsur kedhaliman termasuk dalam kategori praktik riba yang diharamkan. Misalnya terkait hitungan harga menu makanan di sebuah warung makan. Kalau kebetulan pelanggannya datang dengan Honda, maka hitungan harganya biasa-biasa saja dengan harga normal, tetapi kalau pelanggan datang dengan mobil mewah, maka hitungan harganya dimark up, bukan lagi harga normal, maka praktik yang demikian dapat dikategorikan sebagai praktik riba.
Al-Ihtikar, Al-ihtikar adalah monopoli, yaitu menimbun kebutuhan masyarakat sehingga langka di pasaran lalu kemudian menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Setiap transaksi yang mengandung unsur monopoli termasuk bagian dari praktik riba yang diharamkan. Misalnya menimbun elpiji yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, sehingga hilang di pasaran dalam tempo tertentu, kemudian dikeluarkan ke pasaran dengan harga tiga kali lipat lebih tinggi dari harga biasa. Mencari keuntungan dengan cara monopoli adalah tindakan yang diharamkan dalam Islam.
Solusi Riba
Riba termasuk salah satu dosa di antara dosa-dosa besar, yang disamakan dengan dosa zina. Pelaku praktik riba sama dosanya dengan pelaku praktik zina. Riba dan zina adalah dosa besar yang tidak pernah diloggarkan (dibolehkan) oleh Allah SWT dalam syariat samawi sejak masa Adam as hingga syariat Muhammad SAW.
Hal ini berbeda dengan pengharaman arak yang pengharamannya melalui proses bertahap, namun riba dan zina sejak diharamkan sampai kiamat tetap diharamkan. Lalu apa solusinya agar masyarakat terbebas dari praktik riba?. Berikut beberapa hal yang barangkali menjadi solusi membebaskan umat dari praktik riba yang diharamkan;
Taubat, Solusi pertama agar terbebas dari praktik riba adalah bertaubat kepada Allah SWT, yaitu dengan mencabut diri dari praktik riba, kemudian menyesal semenyesal-menyesalnya atas praktik riba selama ini, dan kemudian bercita-cita (`azam) tidak akan kembali lagi ke praktik ribawi yang diharamkan.
Meningkatkan Kejujuran, agar terbebas dari terjerumus ke dalam riba ialah dengan menanamkan kejujuruan sejak dini dan pada hal-hal yang sekecil-kecilnya. Selama ini masyarakat sulit memberi pinjaman tanpa bunga, hutang dan sejenisnya kepada masyarakat yang lain, karena si pemberi khawatir tidak akan dibayar atau ditipu, akibatnya masyarakat beralih ke pinjaman berbasis riba. Oleh itu, meningkatkan kejujuran adalah solusi terbebas dari riba.
Mengurangi Keinginan, termasuk dalam solusi riba adalah mengurangi keinginan, cukupkan dengan kebutuhan, sebab selama ini banyak anggota masyarakat terlibat dalam praktik riba karena hanya ingin memenuhi keinginan. Padahal Islam mengajarkan umatnya agar dalam hidupnya tidak menuruti keinginan tetapi penuhilah kebutuhan.
Membentuk Konsorsium, solusi lainnya yang dapat menjadi solusi riba adalah terbentuknya konsorsium para orang kaya. Lewat wadah ini para orang kaya dermawan dapat membantu modal dan pinjaman kepada umat untuk meningkatkan perekonomiannya dengan modal pinjaman tanpa bunga alias pinjaman tanpa riba.
Selama ini umat yang membutuhkan modal usaha tidak ada tempat yang dapat mereka dapatkan pinjaman tanpa bunga kecuali ke lembaga keuangan ribawi. Oleh itu, kehadiran konsorsium ini menjadi penting sebagai solusi umat terbebas daripada riba
Ta`awun, solusi lainnya untuk membebaskan umat daripada praktik riba adalah dengan meningkatkan kesadaran ta`awun antar sesama. Misalnya dengan menyuburkan budaya bersedakah untuk memberdayakan fakir miskin. Para pedagang kecil yang membutuhkan modal lima sampai sepuluh juta rupiah, cukup dibantu dengan sadakah yang dikumpulkan oleh jamaah suatu masjid. Dengan demikian, umat tidak perlu bersentuhan dengan rentenir yang meresahkan.
Kesimpulan
Ekonomi syairah atau ekonomi tanpa riba adalah salah satu dari dua pilar utama Islam-ekonomi syairah dan politik Islam. jika kedua-duanya kuat maka kuatlah umat ini, namun jika salah satunya pincang apalagi lumpuh maka lumpuhlah umat ini. Praktik ekonomi tanpa riba dalam perspektif Islam sama dengan ibadah.
Semoga umat Islam khususnya di Aceh terbebas daripada riba, dan Aceh akan makmur dan sejahtera. Wallahu `Alam bi tsawab. []
Komentar
Posting Komentar